Pernah membaca tentang kisah perang tabuk
saudaraku? Sebuah peperangan yang tenteranya diberi nama jaisyul ‘usrah atau
pasukan yang dibentuk di saat kesusahan. Perang Tabuk yang terjadi pada tahun 8 hijriyyah itu terjadi ketika mana
keadaan cuaca sangat panas dan masyarakat ketika itu sedang menunggu hasil
tanaman tidak lama lagi. Sahabat Rasulullah, Umar bin al-Khattab menyerahkan
separuh daripada hartanya. Uthman pula menyerahkan 300 unta dan 1000 dinar.
Ikhwah fillah,
Hadirkanlah bayangan bagaimana para sahabat di
bawah kepanasan matahari memenuhi panggilan Rasulullah dan keadaan yang
meletihkan. Bagaimana mereka mengabaikan saat datangnya musim buah yang segera
di tiba, di tengah haus. Bagaimana mereka menepis bayangan kenikmatan tinggal
bersama isteri di rumah. Bagaimana mereka melepaskan kerinduannya dengan
anak-anak. Mereka semuanya keluar menuju panggilan Rasulullah untuk menyonsong
perang besar.
Ikhwah fillah,
Para mufassir menerangkan bahawa ada sejumlah
sahabat yang termasuk dikalangan orang faqir sehingga mereka tidak punya alat
untuk berjihad. Mereka datang kepada Rasulullah dan berkata, “Ya Rasulullah,
saya tidak ada apa-apa untuk berjihad” Mata mereka lalu bercucuran air mata
kerana kesedihan yang sangat mendalam.
“Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila
mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu
berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu”, lalu mereka kembali,
sedang mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak
memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan” (9:92)
Itulah perasaan mereka.
Hancur luluh.
Sedih.
Merana.
Bagai teriris sembilu hati mereka mendengar derap
pasukan berangkat dan suara unta melengu gembira menuju Tabuk. Sedih sebagai
orang yang tak mampu, sebagai orang yang tak berguna, sedih sebagai orang yang
rela duduk, sedih sebagai orang yang bodoh melepaskan kesempatan mulia. Maka
Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang ridha terhadap perasaan mereka dan
Allah mengampuni mereka kerana sebenarnya mereka adalah orang-orang yang tulus.
Ikhwah fillah,
Para sahabat nabi memang begitu mulia. Mereka
menangis, mencucurkan air maa. Tapi air mata mereka yang menitis bukan kerana
mereka melakukan dosa dan bertaubat. Jesteru, kesedihan mereka itu kerana
mereka tidak bisa melakukan ketaatan. Berbeza sekali dengan tangisan kita hari
ini, dalam situasi ini. Kita bahkan tidak menangis pun meski luput melakukan
banyak ketaatan. Kita bahkan tidak bersedih dan masih boleh bergembira dalam
keadaan kita berulang kali mengabaikan perintah Allah swt.
Ikhwah fillah,
Jika dahulu medan Tabuk mungkin hanya kekurangan
satu, dua atau lima orang. Tapi Tabuk hari ini kekurangan ribuan bahkan jutaan
pejuang yang mahu keluar meninggalkan rumah, menyerukan dakwah kepada Allah dan
mempertahankan agama Allah.
Dahulu belanja Perang Tabuk dibantu oleh Uthman bin
Affan, setelah Abu Bakar menyerahkan semua hartanya dan Umar al-Khattab
memberikan separuh hartanya. Tapi”Tabuk” hari ini diwarnai kehidupan di
Palestina, Syria, Arakan dan Iraq, dengan sedikit umat Islam yang peduli
terhadap mereka. Tabuk dahulu tetap mendorong para sahabat untuk berangkat
dengan mengabaikan indahnya musim buah. nikmatnya tinggal bersama keluarga dan
anak-anak. Tetap “Tabuk” hari ini, jesteru dijauhi oleh kita yang sangat
terpikat dan terikat oleh keselesaan di rumah bersama isteri dan anak-anak,
sambil menikmati hidangan yang lazat, empuk membaringkan diri sepanjang hari
dan mengisi waktu bermain games.
Ikhwah fillah,
Dalam hadith riwayat Imam alBukhari dan Muslim,
disebutkan, para sahabat yang faqir saat perang Tabuk dimulai itu, menangis dan
datang menghadap Rasulullah s.a.w dengan membawa apa pun yang mereka punya
untuk diberikan di jalan Allah, hingga akhirnya Rasulullah mengatakan “Wallahi
maa hamaltukum walakinna Allah hamalakum”
Demi Allah, bukan aku yang akan mengangkut kalian
(ke dalam pasukan Tabuk), Tapi Allah lah yang akan mengangkut kalian.
Ikhwah fillah,
Tahukan kita mengapa Allah sangat menginginkan
orang faqir seperti mereka untuk masuk dalam barisan Tabuk? Padahal jelas
mereka adalah orang-orang yang tidak berkemampuan hartanya. Mungkin, kerana
Allah sudah mengetahui ketulusan mereka. Maka mereka pun bisa dimasukkan ke
dalam barisan pejuang untuk melakukan pembelaan terhadap agama-Nya. Ketulusan
itu begitu nyata ketika mereka secara spontan mengalirkan air mata.
Sementara kita hati ini telah luput dalam banyak
medan ketaatan, absen dalam banyak medan dakwah, hilang di banyak kesempatan
mulia. Kita, luput dan tidak hadir bukan dalam satu, dua atau tiga medan
ketaatan, tapi mungkin puluhan, ratusan, ribuan atau mungkin lebih dari itu.
Tapi kita belum juga menangisi itu semua.
Tahukan kita kenapa ia boleh terjadi kepada diri
kita?
Mungkinkah Allah mengetahui kita belum tulus
berjuang di jalanNya?
Belum terbukti ikhlas dalam keimanan kepada-Nya?
Lalu kerana itu, Allah menjadi tidak peduli kepada
kita, apakah kita termasuk barisan orang-orang melakukan ketaatan, berdakwah
dan berjuang atau tidak.
Ikhwah fillah,
Kita, mungkin juga tidak pernah bersedih apalagi
mencucurkan air mata, kerana tidak punya sesuatu yang bisa dipersembahkan
kepada Allah. Malulah kita pada diri sendiri. Hisablah diri kita sendiri, kita mendakwa kita berjuang padahal kita hanya di pinggir. Walhal mereka yang berjuang sebenarnya adalah mereka yang berada di medan.